Ada Apa dengan Pancasila?

Setiap Oktober dan November kita selalu memperingati hari-hari bersejarah, dan hati kita bagaikan terbakar oleh api patriotisme manakala kita memaknainya dengan refleksi mendalam.

Jiwa dan semangat pengabdian pada Ibu Pertiwi disegarkan kembali oleh kisah historis-herois-patriotis, sarat dengan nilai-nilai sejarah bangsa yang sepatutnya kita lestarikan.

Tanggal 5 Oktober adalah hari lahirnya TNI yang berasal dari kelompok-kelompok perjuangan, dan dari semua suku di Nusantara yang terpanggil untuk mempertahankan kemerdekaan. Sedangkan 28 Oktober adalah hari Sumpah Pemuda yang merupakan "hari lahirnya Kebangsaan Indonesia".

Lalu 10 November adalah Hari Pahlawan, yang awalnya ditandai perjuangan berdarah arek-arek Soroboyo (Jawa Timur), kemudian diikuti pemuda pejuang di hampir semua daerah di Indonesia yang bangkit melawan penjajah kendati hanya bersenjatakan bambu runcing dan berbekal semangat "Merdeka atau Mati".

Sejarah panjang Keindonesiaan yang membuahkan kemerdekaan itu pada hakikatnya digelorakan oleh semangat perubahan/pembaruan yang disuburkan oleh mosaik nilai-nilai keadilan, kekeluargaan, gotong-royong, kebersamaan, toleransi, mufakat, persatuan, komitmen, keberanian, keuletan, sikap pantang menyerah dan yang terpenting adalah keteladanan.

Para founding fathers/mothers telah membingkai nilai-nilai tersebut dalam pigura Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa (Weltanschauung) yang secara legal-formal ditetapkan bersamaan dengan diberlakukannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.

Berarti pula Pancasila telah disepakati dan resmi menjadi Jatidiri Bangsa Indonesia yang harus dibentuk lewat proses akbar Character Building yang tetap berkelanjutan (never ending process).

Namun pertanyaan besar yang selalu menggelitik nurani kita adalah apakah nilai-nilai tersebut masih tetap hidup dalam sanubari anak-anak bangsa Indonesia?

Berbagai fenomena memperlihatkan betapa nilai-nilai tersebut mengalami erosi dan degradasi. Padahal para founding fathers/mothers secara sangat cerdas, arif dan visioner telah memformulasikan Pancasila sebagai buah perkawinan antara "lokalitas dan universalitas" yang sangat tepat dan relevan karena benar-benar berakar dan bersumber pada ranah Keindonesiaan yang ideal sekaligus realistis.

Prof. Syafii Maarif mengapresiasinya sebagai masterpiece (karya agung) anak bangsa dan Jacob Oetama menyebutnya sebagai hasil dari pemikiran cerdas yang mendahului zamannya.

Mengapa Pancasila?

Pada saat proses perumusan tersebut, secara global telah berkembang paham individualisme-liberalisme serta kolektivisme sebagai acuan negara-negara baru dalam merumuskan platform kenegaraannya.

Namun para bapak bangsa tidak mengadopsi kedua paham besar tersebut. Sistem liberal yang merupakan anak kandung individualisme justru ditentangnya karena dianggap menurunkan kapitalisme serta kolonialisme/imperialisme.

Mereka juga menafikan kolektivisme ala Marxis-Leninis yang menurunkan diktatorisme/otoritarianisme. Founding fathers lebih memilih sistem "negara kekeluargaan" yang digali dari akar budaya bangsa sendiri.

Oleh karena Pancasila digali oleh Bung Karno dan kawan-kawan dari akar budaya bangsa sendiri, maka Pancasila amat membumi sehingga apabila dikembangkan dan diimplementasikan akan menjadi "jatidiri bangsa" serta perekat yang ampuh, bagi kelanjutan eksistensi Indonesia.

Ada sejumlah pertimbangan mengapa founding fathers memilih Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, yaitu, pertama, secara demografis bangsa kita memiliki pluriformitas yang sangat lebar dari berbagai aspek (multidimensi). Dengan jumlah penduduk yang sangat besar (keempat terbesar di dunia), terdapat kesenjangan multiaspek misalnya aspek pendidikan, ekonomi, sosial dan kultural.

Kedua, secara kultural, dalam masyarakat Indonesia di seluruh Nusantara mendarah-daging nilai-nilai luhur seperti kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, keramah-tamahan, budi pekerti dan sebagainya, meski menurut antropolog budaya terkemuka mendiang Prof. Dr. Koentjaraningrat, juga mengidap simptom penyakit sosial yang negatif, seperti berwatak "feodalistis", "munafik", "suka mencari kambing hitam" dan "malas" (pasif, rendah dalam inisiatif, kreasi dan inovasi).

Untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa serta mengatasi penyakit budaya tersebut, satu-satunya jalan/cara terapi adalah pendidikan yang berkualitas, berorientasi pada pembangunan jatidiri bangsa Indonesia (nation and character building). Persoalannya, sistem pendidikan nasional saat ini justru bermasalah, karena lebih menekankan aspek transfer of knowledge daripada transfer of values.

Ketiga, secara geografis, negara kita merupakan negara kepulauan (archipelagic country) dengan garis pantai yang amat panjang (nomor dua terpanjang di dunia), terletak pada posisi silang yang amat strategis serta amat kaya dengan Sumber Daya Alam.

Kondisi ini melahirkan banyak keuntungan namun juga berpotensi kerawanan, termasuk masuknya kepentingan-kepentingan asing (regional dan global) dan sulitnya pengawasan wilayah.

Keterpilihan atau Keterwakilan

Namun dalam perjalanan sejarahnya ternyata Pancasila yang sejak awal diidealkan menjadi common platform bangsa-negara tidak pernah diimplementasikan dan dikembangkan secara konsisten.

Pada era Bung Karno yang secara eksperimental menerapkan Demokrasi Terpimpin dan secara kontradiktif memaksakan Nasakomisasi yang justru bertentangan dengan Pancasila.

Lalu pada era Orba (Pak Harto) terjadi banyak deviasi atau penyimpangan dalam implementasi Pancasila karena maraknya korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) dan feodalisme

Memasuki era Reformasi kesiapan melakukan perubahan ternyata hanya sekedar menumbangkan rezim lama yang otoriter dan menggelar demokratisasi (liberal) yang pada hakikatnya tidak pas dengan akar budaya bangsa.

Derasnya arus Globalisasi justru membolehkan masuknya ragam ideologi yang bertentangan seperti liberalisme-kapitalisme, Wahabisme, American Evangelism yang agresif serta fundamentalisme lainnya bahkan Radikalisme yang kerap disertai terorisme.

Memang diakui bahwa tidak sedikit kemajuan berbagai bidang yang dibuka oleh keran demokrasi, seperti tumbuhnya check and balances dalam pemerintahan, partisipasi politik, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan pers (sayangnya malah kebablasan).

Namun, di sisi lain harus pula kita sadari bahwa transisi demokrasi yang bersifat instan di Indonesia mengandung potensi konflik yang amat besar.

Pada era reformasi Pancasila tidak hanya sekedar diselewengkan, tetapi malah dianggap kuno, lebih ekstrim lagi ada yang menganggapnya sudah merupakan fosil, sebagai "ideologi gagal" yang tabu untuk dibicarakan.

Demokrasi Pancasila telah digantikan oleh demokrasi liberal dengan ciri pemilihan langsung one man-one vote, sistem perwakilan serta musyawarah-mufakat yang bercirikan respek terhadap kelompok minoritas telah digantikan sistem voting. Hal ini mengakibatkan aspek keterwakilan terutama dari aspek etnik menjadi lemah.

Patut diingat kembali penegasan Bung Hatta bahwa prinsip demokrasi adalah "keterwakilan" yang mengedepankan egalitarianisme. Sementara praktik demokrasi di Indonesia dewasa ini justru "membunuh" prinsip egaliter dan keterwakilan itu. Sebagai bukti/contoh empiris, seharusnya Suku Badui, Anak Dalam dan berbagai kelompok minoritas diwakili dengan cara "ditunjuk", bukan dipilih (karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan free fight), agar kepentingan mereka dapat diperjuangkan di parlemen.

Keterwakilan juga merupakan perekat bagi masyarakat yang serba majemuk seperti Indonesia. Sebagai perbandingan, Suku Mohawk di Kanada yang sudah sangat minim jumlahnya, mendapat wakil diparlemen dengan cara ditunjuk.

Adalah fatal jika mengidentikkan demokrasi dengan voting karena hal itu hanyalah salah satu cara dalam berdemokrasi. Musyawarah mufakat dan penunjukan berdasarkan asas egalitarian pun merupakan cara berdemokrasi yang elegan, benar, etis, dan rasional, yang secara obyektif sangat tepat diterapkan dalam konteks Keindonesiaan.

Kini pola individualisme serta liberalisme telah mewarnai demokrasi Indonesia sehingga memudarkan ciri Keindonesiaan dan menyuburkan Machiavelisme, politik uang, anarkisme bahkan konflik politik yang kerap meluas.

Dari aspek ekonomi, sistem liberal telah mendorong kita menjadi fundamentalis pasar bebas, membuka sangat lebar pintu partisipasi aktor-aktor internasional yang mengakibatkan kuatnya posisi dan pengaruh Multi Nasional Corporations (MNC) serta lembaga keuangan supra-nasional seperti IMF, Bank Dunia dan lainnya dalam perekonomian nasional.

Liberalisasi ekonomi yang diikuti gelombang privatisasi dan pelaksanaan Otonomi Daerah yang kurang terkontrol mengakibatkan banyaknya sumber daya alam dan permodalan dikuasai oleh kapitalis asing, sehingga pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional menjadi semu, karena tidak dinikmati oleh rakyat kita.

Sedangkan dari perspektif budaya, seiring dengan berkembang biaknya virus neoliberalisme, berkembang pula sikap atau mentalitas bangsa yang individualistis, materialistis, hedonistis serta konsumtif yang melemahkan daya tahan bangsa kita.

Patut kita jadikan pelajaran berharga apa yang dialami Uni Soviet pada masa lalu. Union Country yang memiliki 140 etnis ini pecah menjadi 15 negara setelah Glasnost/Perestroika dan masih potensial untuk menjadi puluhan negara.

Dalam konteks ini dapat dibayangkan apa yang mungkin (bakal) terjadi di Indonesia dengan lebih dari 1072 kelompok etnis yang berdiam di 3000-an pulau. Jika tidak dibentengi Pancasila, dipagari nasionalisme serta dikawal oleh kesadaran bela negara dan patriotisme yang kokoh-tangguh, siapakah yang bisa menjamin bahwa eksistensi NKRI dapat terhindar dari disintegrasi.

Reaktualisasi Pancasila

Hemat saya, langkah awal yang penting dan strategis adalah melakukan "Konsolidasi Keindonesiaan". Untuk melakukan pekerjaan akbar tersebut mau tidak mau harus pula menyentuh kaji ulang terhadap UUD 1945 hasil amandemen serta revisi sejumlah Perundang-undangan, karena sudah tidak lagi sesuai dengan jiwa dan semangat Mukadimah UUD 1945 karena lebih memihak pada kepentingan asing khususnya kepentingan korporasi multinasional.

Sekedar contoh kecil: UUD hasil amandemen yang mengebiri peran MPR, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal yang memberi kesempatan pada modal asing untuk menggunakan lahan sampai ratusan ribu hektar dengan Hak Guna Usaha (HGU) sampai 95 tahun dan dapat diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun serta dapat diperbaharui selama 35 tahun.

Ini berarti mereka bisa menguasainya selama 190 tahun. Contoh lainnya adalah Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang pada prinsipnya telah mengkomersialisasikan pendidikan nasional serta memberikan akses terlalu lebar bagi masuknya modal asing dalam dunia pendidikan.

Dengan regulasi seperti itu niscaya sulit bagi bangsa Indonesia untuk menumbuh-kembangkan kembali Pancasila dan nilai-nilai Keindonesiaan serta mengawal kepentingan nasional.

Langkah berikutnya adalah menjadikan pembangunan sektor budaya menjadi Leading Sector dalam pembangunan nasional. Dalam konteks ini pembenahan sistem pendidikan nasional (sisdiknas) mutlak harus dilakukan, sisdiknas harus menjadi penjuru dalam pembangunan karakter bangsa (Character building), moto "pendidikan berbasis kompetensi" perlu dikoreksi menjadi "pendidikan berbasis karakter dan kompetensi".

Selanjutnya pembangunan dan penegakan hukum juga harus menjadi prioritas utama guna membersihkan virus KKN dan menegakkan disiplin nasional, karena disiplin juga harus menjadi salah-satu ciri atau identitas bangsa.

Reformasi Parpol dan Birokrasi merupakan keharusan dalam pembangunan jatidiri bangsa, karena Parpol memiliki fungsi rekrutmen atau kaderisasi pemimpin bangsa. Sedangkan birokrasi bertugas melakukan eksekusi kebijakan-kebijakan tadi. Sehingga para pemimpin dan anggota kedua lembaga tersebut harus berkarakter dan menjadi teladan bagi rakyat yang dipimpinnya.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat menyegarkan kembali semangat, nasionalisme, patriotisme serta menyentakkan tanggung jawab moral kita akan pekerjaan akbar serta strategis-visioner, yaitu pembangunan Jatidiri Bangsa Pancasila yang terabaikan. (***)


Sumber:http://antaranews.com