BUNUH diri menduduki posisi ketiga penyebab kematian di kalangan remaja. Masalahnya, remaja dan orangtua menganggap remeh masalah ini lantaran meyakini tidak akan terjadi pada keluarga mereka.
Sebuah penelitian dilakukan mengenai fenomena bunuh diri yang melibatkan remaja sebagai korban. Adapun sampel yang diambil adalah remaja beserta orang yang hidup di kota, pinggiran kota, dan pedesaan untuk memahami sikap dan persepsi mereka terhadap bunuh diri yang marak dilakukan kalangan remaja.
Mereka menemukan bahwa orang dan remaja mampu mengidentifikasi penyebab utama bunuh diri ini, seperti depresi, pengaruh minuman keras, penggunaan obat terlarang, dan problematika hubungan pertemanan remaja. Namun, baik pihak orangtua ataupun remaja, menampik permasalahan tersebut akan dialami keluarga mereka sendiri.
“Mereka beranggapan hal tersebut akan menimpa keluarga lain, bukan keluarga mereka,” ujar Kimberly A Schwartz MD dari Umass Memorial Children’s Medical Center di Worcester.
Pada 2006, sebanyak 1.771 anak-anak dan remaja yang berusia 10-19 tahun, melakukan bunuh diri di Amerika Serikat. Remaja laki-laki bahkan memiliki kecenderungan empat kali lebih tinggi melakukan bunuh diri. Mereka pun lebih nekat menggunakan senjata ataupun memilih mati kehabisan napas sebagai cara untuk menghilangkan nyawa. Sebaliknya, kaum hawa lebih banyak yang memilih menegak pil untuk mengakhiri hidup.
Di antara suku bangsa lainnya, tercatat bangsa Amerika dan Alaska memiliki tingkat remaja yang melalukan bunuh diri tertinggi. Sekira 15 kematian dari 100 ribu remaja. Dari hasil penelitian yang dilakukan Schwartz, ternyata banyak orangtua yang tidak dapat membedakan antara mana yang merupakan ciri-ciri kecenderungan sang anak untuk nekat melakukan tindakan menghilangkan nyawanya atau mana yang hanya aksi depresi semata. Namun, mereka mawas diri dengan menjauhkan senjata api ataupun obat-obatan keras dari jangkauan jika melihat kecenderungan melakukan bunuh diri pada sang anak.
Pada dasarnya orangtua ingin mengetahui lebih banyak untuk mengidentifikasi perilaku nekat anak yang ingin melakukan bunuh diri seperti apa cirinya, dan bagaimana menolong mereka.
Dalam hal ini, Schwartz mengatakan, dokter anak dapat berperan penting menangani fenomena tersebut, dengan secara teratur melakukan pemeriksaan terhadap anak-anak dan remaja yang tengah depresi atau masalah kejiwaan lain yang membuat mereka dalam bahaya.
Bahkan, Akademi Dokter Anak Amerika (AAP) juga menyarankan para dokter anak untuk bertanya kepada pasien remaja tentang perasaan yang mengganggu, pemikiran untuk bunuh diri, dan masalah lain yang mengganggu pikirannya, termasuk orientasi seksual. Faktanya, remaja yang menyukai sesama jenis ataupun biseksual, berada dalam risiko terbesar untuk melakukan tindakan nekat ini.
Survei membuktikan, ada sekira 28 persen percobaan bunuh diri yang dilakukan remaja pria penyuka sesama jenis dan biseksual. Sebaliknya, ada remaja wanita sebanyak 20 persen melakukan percobaan bunuh diri.
Adapun psikolog Tika Bisono mengatakan, fenomena bunuh diri pada anak-anak di bawah umur dipicu beberapa faktor. Entah itu karena tekanan dari orangtua, lingkungan bermain, ataupun karena dorongan untuk memiliki sesuatu tidak terpenuhi.
“Pengaruh tersebut membuat si korban merasa tidak nyaman dan ketakutan sehingga mencoba melakukan hal tersebut,” jelasnya.
Selain faktor tersebut pengaruh acara televisi yang ekstrem seperti aksi kejahatan yang ditampilkan secara vulgar bisa memicu perilaku pada anak. Menurutnya, anak-anak sangat memerlukan pengawasan dan pendampingan oleh keluarga karena daya nalar yang terbatas ketika menonton televisi yang terlalu ekstrem. "Hal ini bisa mengubah perilakunya,” kata Tika.
Sementara Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak, mengatakan, “Seorang pelajar nekat bunuh diri karena stres yang berlebihan bisa karena faktor keluarga, lingkungan, hingga sekolahnya,” ujarnya.
Mungkin saja guru membebani pekerjaan rumah yang berlebihan, atau tuntutan prestasi yang terlalu tinggi. Seto menilai sistem pendidikan di Indonesia saat ini tidak melatih kecerdasan kedua aspek tersebut. Padahal, sudah selayaknya dua faktor krusial ini diberikan bukan hanya tuntutan akademik.
Lingkungan terdekat, keluarga, adalah faktor yang paling menentukan bagi perkembangan jiwa anak. Maka, dia menyarankan komunikasi antara orangtua dan anak harus berjalan dua arah.
AAP berhasil merangkum ciri-ciri kecenderungan remaja yang depresi untuk nekat melakukan aksi bunuh diri. Di antaranya, perubahan besar terhadap kepribadian, hubungan percintaan yang terganggu, penurunan prestasi di sekolah, penggunaan obat terlarang dan minuman keras, perubahan pola makan dan kebiasaan tidur, mempunyai kesulitan berkonsentrasi, menulis catatan atau puisi tentang kematian, dan berbicara soal bunuh diri meskipun hanya bercanda.
Jika ciri-ciri ini yang ditemukan, AAP menyarankan orangtua untuk bertindak cepat, kemudian bertanya langsung kepada si anak tentang masalah yang sedang dialami. Berikan keyakinan kepadanya bahwa Anda menyayangi mereka, dan pastikan mereka memahami bahwa seburuk apa pun masalahnya, permasalahan tersebut dapat diatasi.
Biarkan mereka untuk berbicara mengenai perasaannya dan dengarkan dengan baik. Jangan memotong ataupun menghakimi. Untuk pencegahan, jauhkan seluruh benda tajam dan berbahaya di rumah.
Sumber: okezone.com
Sebuah penelitian dilakukan mengenai fenomena bunuh diri yang melibatkan remaja sebagai korban. Adapun sampel yang diambil adalah remaja beserta orang yang hidup di kota, pinggiran kota, dan pedesaan untuk memahami sikap dan persepsi mereka terhadap bunuh diri yang marak dilakukan kalangan remaja.
Mereka menemukan bahwa orang dan remaja mampu mengidentifikasi penyebab utama bunuh diri ini, seperti depresi, pengaruh minuman keras, penggunaan obat terlarang, dan problematika hubungan pertemanan remaja. Namun, baik pihak orangtua ataupun remaja, menampik permasalahan tersebut akan dialami keluarga mereka sendiri.
“Mereka beranggapan hal tersebut akan menimpa keluarga lain, bukan keluarga mereka,” ujar Kimberly A Schwartz MD dari Umass Memorial Children’s Medical Center di Worcester.
Pada 2006, sebanyak 1.771 anak-anak dan remaja yang berusia 10-19 tahun, melakukan bunuh diri di Amerika Serikat. Remaja laki-laki bahkan memiliki kecenderungan empat kali lebih tinggi melakukan bunuh diri. Mereka pun lebih nekat menggunakan senjata ataupun memilih mati kehabisan napas sebagai cara untuk menghilangkan nyawa. Sebaliknya, kaum hawa lebih banyak yang memilih menegak pil untuk mengakhiri hidup.
Di antara suku bangsa lainnya, tercatat bangsa Amerika dan Alaska memiliki tingkat remaja yang melalukan bunuh diri tertinggi. Sekira 15 kematian dari 100 ribu remaja. Dari hasil penelitian yang dilakukan Schwartz, ternyata banyak orangtua yang tidak dapat membedakan antara mana yang merupakan ciri-ciri kecenderungan sang anak untuk nekat melakukan tindakan menghilangkan nyawanya atau mana yang hanya aksi depresi semata. Namun, mereka mawas diri dengan menjauhkan senjata api ataupun obat-obatan keras dari jangkauan jika melihat kecenderungan melakukan bunuh diri pada sang anak.
Pada dasarnya orangtua ingin mengetahui lebih banyak untuk mengidentifikasi perilaku nekat anak yang ingin melakukan bunuh diri seperti apa cirinya, dan bagaimana menolong mereka.
Dalam hal ini, Schwartz mengatakan, dokter anak dapat berperan penting menangani fenomena tersebut, dengan secara teratur melakukan pemeriksaan terhadap anak-anak dan remaja yang tengah depresi atau masalah kejiwaan lain yang membuat mereka dalam bahaya.
Bahkan, Akademi Dokter Anak Amerika (AAP) juga menyarankan para dokter anak untuk bertanya kepada pasien remaja tentang perasaan yang mengganggu, pemikiran untuk bunuh diri, dan masalah lain yang mengganggu pikirannya, termasuk orientasi seksual. Faktanya, remaja yang menyukai sesama jenis ataupun biseksual, berada dalam risiko terbesar untuk melakukan tindakan nekat ini.
Survei membuktikan, ada sekira 28 persen percobaan bunuh diri yang dilakukan remaja pria penyuka sesama jenis dan biseksual. Sebaliknya, ada remaja wanita sebanyak 20 persen melakukan percobaan bunuh diri.
Adapun psikolog Tika Bisono mengatakan, fenomena bunuh diri pada anak-anak di bawah umur dipicu beberapa faktor. Entah itu karena tekanan dari orangtua, lingkungan bermain, ataupun karena dorongan untuk memiliki sesuatu tidak terpenuhi.
“Pengaruh tersebut membuat si korban merasa tidak nyaman dan ketakutan sehingga mencoba melakukan hal tersebut,” jelasnya.
Selain faktor tersebut pengaruh acara televisi yang ekstrem seperti aksi kejahatan yang ditampilkan secara vulgar bisa memicu perilaku pada anak. Menurutnya, anak-anak sangat memerlukan pengawasan dan pendampingan oleh keluarga karena daya nalar yang terbatas ketika menonton televisi yang terlalu ekstrem. "Hal ini bisa mengubah perilakunya,” kata Tika.
Sementara Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak, mengatakan, “Seorang pelajar nekat bunuh diri karena stres yang berlebihan bisa karena faktor keluarga, lingkungan, hingga sekolahnya,” ujarnya.
Mungkin saja guru membebani pekerjaan rumah yang berlebihan, atau tuntutan prestasi yang terlalu tinggi. Seto menilai sistem pendidikan di Indonesia saat ini tidak melatih kecerdasan kedua aspek tersebut. Padahal, sudah selayaknya dua faktor krusial ini diberikan bukan hanya tuntutan akademik.
Lingkungan terdekat, keluarga, adalah faktor yang paling menentukan bagi perkembangan jiwa anak. Maka, dia menyarankan komunikasi antara orangtua dan anak harus berjalan dua arah.
AAP berhasil merangkum ciri-ciri kecenderungan remaja yang depresi untuk nekat melakukan aksi bunuh diri. Di antaranya, perubahan besar terhadap kepribadian, hubungan percintaan yang terganggu, penurunan prestasi di sekolah, penggunaan obat terlarang dan minuman keras, perubahan pola makan dan kebiasaan tidur, mempunyai kesulitan berkonsentrasi, menulis catatan atau puisi tentang kematian, dan berbicara soal bunuh diri meskipun hanya bercanda.
Jika ciri-ciri ini yang ditemukan, AAP menyarankan orangtua untuk bertindak cepat, kemudian bertanya langsung kepada si anak tentang masalah yang sedang dialami. Berikan keyakinan kepadanya bahwa Anda menyayangi mereka, dan pastikan mereka memahami bahwa seburuk apa pun masalahnya, permasalahan tersebut dapat diatasi.
Biarkan mereka untuk berbicara mengenai perasaannya dan dengarkan dengan baik. Jangan memotong ataupun menghakimi. Untuk pencegahan, jauhkan seluruh benda tajam dan berbahaya di rumah.
Sumber: okezone.com