Menurut UNESCO, Ghent terpilih karena kota ini memiliki infrastruktur kreatif dan aktivitas pagelaran yang komplit dengan jumlah concert hall, fasilitas pendidikan, dan pusat-pusat riset. Fasilitas-fasilitas itu digunakan secara aktif sehingga kota ini tak hanya mendorong warga lokal untuk berpartisipasi dalam beragam festival, tapi juga mendukung bermacam genre musik dan seniman lokal.
Ghent, yang terletak di wilayah Flemish – wilayah yang berbahasa Belanda – di Belgia, di abad pertengahan pernah menjadi kawasan luas dan kaya di Eropa utara. Dengan luas sekitar 156 km2, Ghent diisi lebih dari 230.000 orang dengan 60.000 di antaranya adalah pelajar.
Kebijakan kebudayaan kota ini dibikin pada 2008 untuk masa empat tahun ke depan, 2012 dengan tema “A Nile Flows Through Ghent”. Maknanya tak lain bahwa Ghent adalah tempat yang subur dan kreatif serta merupakan titik berkumpulnya budaya.
Kota ini juga terkenal sebagai kota festival yang kebanyakan lebih mengarah kepada musik. Sebut saja “Festival of Flanders”, “The International Film Festival Ghent” (dengan penekanan pada musik), dan “Ghent Jazz Festival”. Satu lagi festival musim panas – salah satu yang terbesar di Eropa – adalah “Gentse Feesten” atau “Ghent Fests” yang digelar di jalanan kota itu selama 10 hari. Sebuah festival tradisional yang bisa menggaet dua juta pengunjung tiap tahun.
Festival ini sudah berlangsung sejak 1843. Selama 10 hari kota ini kembali menjadi Ghent dengan segala bentuk tradisi, termasuk penggunaan dialek kuno Ghent selama pertunjukan teater, musik, dll. Semakin lama festival ini semakin berdampak luas pada budaya mereka dengan tambahan konser di tiap pub, tiap alun-alun, bahkan di sungai yang mengalir melewati Ghent. Tradisional dan moderen bercampur di festival ini.
Kota kreatif, ruang kreatif, industri kreatif, ekonomi kreatif inilah yang kini sedang tren, setidaknya 10 tahun belakangan ini, di kota-kota di seluruh dunia. Kreativitas yang berbasis budaya, termasuk budaya lokal, karena budaya dan nilai-nilai budaya merupakan aset dan penggerak bagi sebuah kota untuk menjadi lebih imajinatif. Sumber-sumber budaya merupakan bahan mentah yang menggulirkan proses kreatif sehingga kebijakan publik tentang apapun hendaknya menggunakan pendekatan budaya. Demikian Charles Landry dalam The Creative City: A Toolkit For Urban Innovators.
Bicara soal strategi penggunaan budaya sebagai katalisator dan landasan pertumbuhan ekonomi, ada banyak kisah sukses dari negeri seberang – selain tentu saja, Ghent yang sudah disebutkan di atas. Inggris, misalnya, dengan beberapa kota yang pernah terbengkalai dan kemudian bangkit dan sukses menjadi kota kreatif. Newcastle, salah satunya. Di tahun 2002, Newsweek menyebut Newcastle dan Gateshead sebagai salah satu dari delapan kota terkreatif dunia. Padahal di tahun 1980-an keduanya mengalami masa yang pahit, masa kejatuhan dari industri berat, pertambangan, pembangunan kapal, yang pernah jadi penyokong terbesar kota ini.
Kini, kerja sama Newcastle dan Gateshead menghasilkan kota yang menjadi tujuan untuk rekreasi dan tujuan budaya. Tahun 1992, Dewan Gateshead menerbitkan strategi “Urban Regeneration Through the Arts” dan untuk tahun-tahun berikutnya Gateshead melanjutkan strategi regenerasi budaya melalui proyek-proyek publik.
Sebuah jalur pedestrian antara Gateshead dan Newcastle pun dibangun, The Gateshead Millennium Bridge yang dibuka pada 2001 menjadikan ikon tersendiri bagi kota tersebut. Yang tak kalah menarik adalah regenerasi Grainger Town. Sebuah kota bersejarah yang sempat ditinggalkan pada awal 1990-an dan kemudian hidup kembali dengan Grainger Town Project (1997-2003) yang merupakan program regenerasi heritage (pusaka budaya) .
Dalam buku UK Trade and Investment - “Regeneration UK” disebutkan, dari 640 bangunan di area seluas 35 hektar itu, 40 persennya adalah bangunan bersejarah. Duapuluh tahun setelah area ini mulai luluh lantak, yaitu pada awal 1970-an, setengah dari bangunan bersejarah itu masuk dalam klasifikasi “at risk” – bangunan bersejarah yang sudah dalam kondisi parah. Restorasi bangunan milik pribadi pun segera dilakukan, bekerjasama dengan sektor swasta. Hasilnya 121 bangunan terselamatkan dan sudah digunakan kembali sebagai kantor, apartemen, ritel, dll. Revitalisasi Grainger Town berhasil menciptakan 1.500 pekerjaan baru, 280 bisnis baru, dan hampir 400 unit perumahan.
Kota Tua Jakarta dengan luas yang hampir 900 hektar barangkali memang terlalu optimis untuk sebuah revitalisasi. Sebuah pilot project di 30-50 hektar kawasan itu, mungkin diperlukan. Tentunya dengan program yang bukan sekadar proyek. Sebuah revitalisasi serius yang melibatkan banyak pihak dan tak hanya kelompok atau orang-orang yang itu-itu saja, tentunya. Terlebih lagi, perlu rencana yang jelas dan terarah tentang, seperti apa “wajah” kawasan yang direvitalisasi itu nantinya tanpa menafikkan budaya, peninggalan budaya yang sudah ada di situ. Bahkan, seyogyanya, budaya lokal jadi acuan untuk tinggal landas.
Sumber:http://www1.kompas.com